Rabu, 13 April 2011

GURU : GAJI KECIL, TANGGUNG JAWAB BESAR


Anak merupakan modal pembangunan bangsa, dan sebagai modal maka anak harus mendapat porsi dan perhatian yang setara dan sejajar dengan kelompak masyarakat lainnya dalam semua aspek kehidupan.
            Merebaknya berbagai macam kekerasan yang melibatkan anak sebagai subjek maupun objek kekerasan merupakan hal yang sangat mengguncang dunia pendidikan. Terakhir kita lihat di televisi, bagaimana sekelompok anak SMU melakukan penculikan anak dan meminta uang tebusan kepada orang tua si korban. Lazimnya, hal ini hanya biasa dilakukan oleh sekelompok geng mafia ala film Hollywood ataupun film - film mandarin, namun yang terjadi di depan mata kita; dilakukan oleh anak yang berseragam putih abu - abu yang konon rajin beribadah.
            Apa sebetulnya yang terjadi pada pendidikan di Indonesia ? Guru kah yang harus disalahkan ??
            Mungkin masih lekat dalam ingatan masing - masing, dulu waktu masih bersekolah di kampung (yang sekarang tinggal di kota), bila di jalan berpapasan dengan guru, kita akan berhenti sejenak, menepi dan tersenyum simpul dengan wajah yang merona kemalu - maluan, dada yang berdebar, lalu menyalami dan mencium tangan sang guru dengan penuh rasa hormat (meskipun mungkin di hidung masih menyisakan ingus !) Atau yang paling lucu, ketika sang guru datang berkunjung ke rumah, kita akan lari bersembunyi di dalam kamar, bukan karena merasa takut tetapi karena perasaan hormat dan “malu” pada guru.
            Sekarang jaman sudah berubah ! Tak ada lagi senyum simpul malu - malu jika siswa bertemu guru. Tak ada lagi langkah kaki gentar jika siswa dipanggil ke ruangan guru. Sederet kendaraan mewah berjejer; parkir di halaman sekolah. Bukan milik Kepala Sekolah atau para guru, tapi dikendarai oleh siswa.
            Mungkin sebaliknya yang terjadi sekarang, gurulah yang harus tersenyum kikuk dengan pipi yang merah merona jika berpapasan dengan siswanya yang mengendarai TOYOTA keluaran terbaru, sementara Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa sibuk men - starter SUZUKI Jet Cool - nya di bawah terik matahari.
            Lebih - lebih jika berada di dalam kelas. Bagaimana mungkin seoarang guru akan bersuara lantang menerangkan tentang  Handycam, Camera Digital, Laptop, Internet kalau ia sendiri tidak memilikinya. Namun jangankan memiliki, serta  menggunakannya,  melihat benda - benda tersebut,  mungkin masih banyak di antara kita (para guru) belum pernah. Sementara bagi beberapa siswa yang notabene - nya anak pengusaha sukses, atau minimal anak pejabat, barang - barang tersebut sudah tidak asing lagi mereka gunakan.
            Belum lagi kesejahteraan guru yang hanya selisih sedikit dengan UMR para buruh dan pekerja kasar di Jakarta.Namun anehnya, para guru di Indonesia justru pernah mendapat gaji tinggi di zaman pra kemerdekaan. Menurut Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, pada saat itu gaji guru jauh lebih tinggi dari gaji dokter. Tidak ada guru yang ngobyek. Gaji guru tiap tahun sebesar FL 12.500. Karena satu gulden pada saat itu kira - kira  sama dengan Rp. 3.000,- zaman sekarang, maka gaji guru pada waktu itu (tahun 1932) sebesar Rp. 37. 500.000,- (Bandingkan dengan gaji guru sekarang yang Golongan IV/a dan telah mengajar lebih kurang 20 tahun, gaji perbulannya hanya sekitar  Rp. 3.000.000,- per bulan. Dikalikan 12 bulan….?? tidak melebihi angka 36 juta rupiah.)
            Jelas bahwa saat itu guru mencapai tingkat kesejahteraan dan status ekonomi yang cukup, bahkan banyak yang menjadi tokoh masyarakat baik di kota maupun di desa.  Banyak masalah sosial yang tidak tidak dapat dipecahkan oleh masyarakat akhirnya dipercayakan kepada kebijaksanaan guru untuk mencarikannya solusi.
            Kini, setelah Indonesia merdeka yang ke - 62 tahun, keberadaan guru tidak lagi mendapat penghargaan yang semestinya. Guru dituntut memiliki tanggung jawab besar; mengajar, mendidik, tetapi dengan gaji yang kecil dibanding para aparat yang lainnya. Peran sosial guru lemah dan eksistensinya banyak dipertanyakan.
            Akibatnya apa, kurangnya perhatian pada nasib guru berdampak  pada kualitas pendidikan (ilmu pengetahuan) kita menjadi yang terendah di kawasan Asia. Data dari UNDP misalnya menyebutkan  bahwa Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara dalam hal pembangunan manusianya.
            Menurunnya  status ekonomi tentu berdampak pada kualitas guru. Bagaimana seorang guru bisa mengajar dengan tenang kalau di dalam otak dan hatinya memikirkan sawah ladang yang tergadai untuk menebus biaya sekolah anak - anaknya ? Haruskah guru menjadi aktor yang berpura - pura tertawa sambil mendongeng di depan siswanya sementara jiwanya tak tenang karena motor Jet Cool- nya harus tergadai demi biaya persalinan istrinya ?
            Belum lagi jika berhadapan dengan berbagai macam karakter siswa di kelas; ada yang malas mengerjakan pe - er, suka membolos, arogan dengan status ekonomi dan status sosial orang tuanya, serta  berbagai macam polemik yang kesemuanya harus dihadapi guru dengan kepala dingin.
            Jika dihadapkan dengan keadaan seperti ini, maka jangan heran kalau terjadi insiden antara guru di satu pihak vs siswa dan orang tua siswa di pihak lain. Guru dengan segala konsekwensinya mesti dan harus bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak - anak bangsa tanpa perduli apakah siswa tersebut rajin, pintar, sopan, hormat maupun sebaliknya; siswa nakal, bandel dan arogan.
            Terkadang dalam menjalankan tugas dan kewajiban, seorang guru dihadapkan pada pilihan - pilihan sulit yang harus diselesaikan dalam waktu sepersekian detik saja. Ibarat wasit sepak bola yang harus menunjuk titik putih, gurupun harus mengambil keputusan cepat dan terbaik walau kadang - kadang kontroversial. Tindakan yang diambil seoarang guru terkadang harus keras namun tidak berarti harus kasar.
            Tindakan keras inilah yang kadangkala disalah mengerti oleh sebagian orang tua siswa. Apalagi kalau orang tua siswa tersebut memiliki status ekonomi dan sosial “di atas” guru. Maka jangan heran kalau di beberapa media cetak sering kita baca bahwa ada orang tua siswa yang mengadukan tindakan “keras” seorang guru atas anaknya ke pengadilan yang berujung pada penahanan sang guru tersebut.
            Orang tua yang baik dan bijak tentu mengerti karakter anaknya masing - masing. Adakalanya anak kita sedikit  “bandel” atas yang kita perintahkan. Orang tua yang bijak tentu akan menggunakan berbagai metode  dan pendekatan terhadap anaknya. Namun adakalanya orang tua yang baik sekalipun, sering kehilangan kendali dan kontrol dalam menangani anaknya yang “bermasalah.” Banyak faktor penyebabnya, presser pekerjaan di kantor, cicilan rumah yang belum dibayar, tagihan telepon yang membengkak dan banyak lagi penyebab lainnya yang dapat membuat si orang tua tersebut kehilangan kendali, sehingga ucapan yang tabu terpaksa dikeluarkan.
            Demikian halnya dengan guru. Meminjam syair lagu grup Band Seurius “Rocker juga manusia, punya rasa punya cinta, jangan samakan dengan pisau belati…” Demikian halnya dengan guru Guru juga manusia, punya rasa punya cinta, jangan samakan dengan pisau belati……”
             (terkirim ke pedoman tgl 29 Maret 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar