Rabu, 13 April 2011

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SULAWESI SELATAN




            Agama masuk ke Sulawesi selatan pada awal abad ke-XVII. Berbagai teori tentang proses Islamisasi telah dikemukakan para ahli. namun, terdapat kesepakatan bahwa Luwu dan Gowa menerima agama Islam lebih dahulu, baru kemudian Bone, Wajo, dan Soppeng. Di daerah ini terkenal tiga ulama penganjur agama Islam terkemuka, masing-masing : Datuk Pattimang, Datuk Tiro, dan Datuk ri Bandang. Ketiga-tiganya berasal dari Sumatera. Syekh Yusuf yang hidup pada pertengahan abad ke-XVII termasuk ulama yang paling dihormati. Ia juga seorang bangsawan Gowa, yang kemudian pergi ke Banten, Jawa Barat. Di sana ia kawin dengan puteri Sultan Ageng; kemudian mendampingi mertuanya melawan Belanda (VOC). Ia dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Kini, ulama terkenal itu mempunyai tiga buah kuburan, yakni di Afrika Selatan, di Banten, dan di Gowa (pinggiran Selatan agak ke Timur kota Ujung Pandang).
            Sekitar tahun 1670 Syekh Yusuf mengirim utusan ke Campalagian, Mandar, bernama Abdurahim Kamaluddin. Di Tanah Mandar itu, utusan Syekh Yusuf mendirikan surau, sekaligus memberikan pengajian. Jasa Abdurahim Kamaluddin dihargai oleh penduduk setempat. Ia kemudian digelar Tuan Binuang; sedangkan nama pendidikan suraunya ialah Mukim. Selain dari pada Mukim di Campalagian, surau pertama ialah yang di Gowa sendiri, di mana Syekh Yusuf mengajar.
            Petuah keagamaan bernilai pendidikan dibacakan pada pesta semisal perkawinan, yaitu yang disebut : sure’ pangngaja’. Sure’ pangngaja’ dilagukan oleh seorang wanita dalam suara amat merdu. Isi petuah keagamaan itu mengutarakan suasana kehidupan di akhirat. Yaitu bagaimana keburukan nasib orang berdosa dan yang durhaka di neraka, serta kehidupan serba enak bagi siapa yang beramal kebajikan di dalam sorga. Karena itu, manusia seharusnya mengikuti jalan hidup yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad lewat “to sofi-e” (orang-orang Sufi yang arif bijaksana).
            Di beberapa tempat dikenal pula pendidikan non formal dalam ilmu tasauf Islam. Akan tetapi, ilmu tasauf tersebut berbau pantaistis, atau serba Tuhan. Mereka itu berpendapat bahwa dirinya, dan segala kejadian lainnya, adalah satu dalam pancaran Ilahi. Sistem pengajaran agak bersifat rahasia. Ada pula yang menggabungkan dalam pengajaran ilmu silat. Biasanya, lulusan pendidikan jenis ini terdiri dari pemuda desa yang tangguh; menjadi pembela kampung halaman dari gangguan pihak luar.
            Perkembangan ilmu tasauf menyebabkan pemahaman syariat agama kurang memadai. Maka, muncul paham tentang ibadah sholat (sembahyang) tak berkeputusan. Mereka yang menganut paham itu tidak lagi melaksanakan sembahyang lima waktu. Yang berpaham demikian ada/cukup banyak di Sulawesi Selatan hingga munculnya ulama-ulama penganut gerakan Wahabisme bermula di Bonjol, Sumatera Barat yang melahirkan Perang Paderi (1821-1837).
            Pengajian dalam rumah tangga berpusat pada pembacaan kitab Suci, Al Qur’an. Guru mengaji yang baik didatangi oleh anak-anak sekitar kediaman sang guru, yang disebut ustadz. Dalam bahasa Bugis disebut “Puang Anre Guru”. Mereka itu mendapat penghormatan dari para murid-murid, dan juga dari orang tua murid. Kadang- kadang seorang guru mengaji dipandang memiliki kharisma, memiliki kesaktian. Bila kesalehannya berikut pengetahuan agamanya diakui cukup tinggi, sang guru dikategorikan Wali Allah. Mereka itu amat mempengaruhi kehidupan pengikutnya.
            Pendidikan formal yang teratur di perkenalkan di Sulawesi Selatan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan tentang pengadaan sekolah desa atau sekolah rakyat (Volksschool; disingkat VS). Berhubung penaklukan baru dimulai pada tahun 1906, maka baru pada tahun tersebut pemerintah Hindia Belanda mendirikan VS di kota Makassar (kini : Ujung Pandang). Pengadaan sekolah ala Belanda di Gowa, oleh penguasa kolonial mempergunakan isi perjanjian antara raja Gowa dan Belanda tanggal 26 Oktober 1894. Salah satu pasal perjanjian menyatakan bahwa Sultan bersama pembesar- pembesarnya berjanji memajukan dengan sekuat tenaga akan perguruan rakyat (volksonderwijs).
            Bahkan, sebelum perjanjian di atas, Benyamin Frederik Matthes (disebut dalam nama Matthes saja); mendirikan Kweeksschool di kota Makassar. Penduduk menamakannya Sekolah Raja Matthes dibantu oleh dua orang penduduk asli (Indonesia) masing-masing La Mangewa dan Daeng Manessa. Ketika didirikan pada tahun 1876, Gubernur Selebes, Tromp diangkat sebagai President van de Schoolcomissie. Sekolah pertama itu tidak giat lagi, ketika Matthes kembali ke negeri Belanda pada tahun 1880. Ia menuju negerinya guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang sastra Bugis, sebagai “Litteratum Indicarum Doctor, honoris causa”. Sejak itu pulalah, upaya menggali kekayaan khasanah kebudayaan Bugis/Makassar ditingkatkan. Pelopornya ialah Matthes sendiri.
            Pada tahun 1907, di kota Makassar didirikan Holland Ambonsche School (HAS). Untuk anak-anak keturunan Cina dibuka Hollandsche Cinece School (HCS) di Timor Weg, dalam kota Makassar. Di sekitar tempat itu, agak dekat pelabuhan, bermukim para pedagang keturunan Cina. Karena keadaan di pedalaman belum sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, pengadaan sekolah di desa- desa baru dapat dilaksanakan pada tahun 1908. Di beberapa kota-kota kecil, seperti Maros, Pangkajene, Segere, Pare-Pare, Pinrang, Majene, Limbung, Bonthain, Watampone, Sengkang, Paria, dan Palopo; dibuka VS pada tahun 1907. Kemudian, setahun sesudah itu; dibuka pula beberapa VS di desa- desa yang telah dinyatakan aman sama sekali. Rencana Gubernur Jenderal van Heutsz di Batavia, agar segera menyebarluaskan lembaga pendidikan VS di pedesaan, baru dapat direalisir pada tahun 1910 di Sulawesi Selatan.
            Sepuluh tahun setelah VS didirikan dan berkembang cukup pesat, maka pada tahun 1920, dibuka pula sekolah lanjutan dari VS, yakni VVS (Vervolgschool). Kalau VS hanya sampai kelas 3, maka VVS dimulai dari kelas IV hingga kelas VI. Agak sederajat dengan VVS, dibuka pula IS (Inlandscheschool) dengan lama pendidikan hingga kelas V. Sekolah jenis ini biasa pula disebut Sekolah Melayu. Para guru-guru IS umumnya berasal dari Sumatera Barat. Tamatan VVS dinilai setingkat lebih baik dari IS.
            Pemerintah Hindia Belanda membuka HIS (Holland Inlandsche School) pada tahun 1912 di Makassar. Pada sekolah ini, dipergunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Murid-murid yang diterima terbatas pada anak keturunan bangsawan, atau mereka yang amat berjasa pada pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1920, baru terdapat enam buah sekolah HIS di Sulawesi Selatan; masing-masing di kota Makassar, Pare-Pare, Bonthain, Bulukumba, Watampone, dan Palopo. Lulusan HIS yang jumlahnya amat sedikit pada setiap tahun, mendapat penghargaan istimewa. Dengan cepat diterima menjadi pegawai pemerintah kolonial, bukan hanya karena penguasaan bahasa Belanda yang baik, melainkan pula dianggap memiliki loyalitas yang tinggi.
            Lembaga pendidikan menengah yang biasa disebut Sekolah Lanjutan Pertama, dibuka pada tahun 1920. Nama sekolah itu ialah MULO (Middelbare Uitgebruik Lagere Onderwijs); yang langsung diawasi oleh Residen Sulawesi Selatan. Yang dapat diterima masuk MULO ialah lulusan HIS, HAS, HCS; dan VVS dengan persyaratan tambahan. sampai tahun 1942, ketika Jepang masuk, hanya satu MULO di Sulawesi Selatan. Guru-guru sekolah “elite” itu, umumnya orang Belanda totok (asli/tulen). Menurut beberapa lulusan MULO yang kemudian menjadi pejuang kemerdekaan, terdapat guru sekolah itu yang agak pro cita-cita kemerdekaan Indonesia. Ide kemerdekaan diselipkan dalam pelajaran Sejarah. Misalnya, bagaimana bangsa Tanah Airnya dari penjajahan Spanyol, dalam perang selama 80 tahun.
            Pemerintah kolonial Belanda menyiapkan pula tenaga pegawai pemerintah yang terdidik lewat OSVIA (Opeidingschool voor Inlandsche Ambtenaren te Makassar). Lama pendidikan minimal tiga tahun. Selama dua tahun pertama, diberikan mata pelajaran Umum, seperti Bahasa Inggeris, Belanda, Jerman, Sosiologi, Sejarah dan lain-lain. Pada tahun ke-tiga, kelas dibagi dua; yang satu bagian tetap sebagai siswa OSVIA (sudah terseleksi), yang satu lagi menjadi HIK (Holland Inlandsche Kweekschool). Sekolah yang dibuka pada tahun 1921 itu, sungguh- sungguh mempersiapkan pegawai Belanda; dengan gaya hidup ke-belanda-belanda-an. Kebanyakan dari mereka terdiri dari anak bangsawan terkemuka, lagi kaya. Lulusan HIK dipersiapkan menjadi guru pada HIS. mereka ini diberikan pengajaran ilmu pendidikan (pedagogik) pada tahun ke-tiga, tingkat terakhir pada sekolah tersebut. Yang tetap sebagai siswa OSVIA, diajarkan Ilmu Hukum yang agak mendalam lagi.
            Lembaga pendidikan kejuruan dibuka, mula-mula Ambatschool, atau sekolah pertukangan (kira-kira tahun 1917). Pada tahun 1932 didirikan sekolah bidang pertanian, dengan nama Landbouwschool, di Watampone dan di Palopo; serta yang ada di Makassar sendiri.
            Di Tana Toraja, pendidikan ala Barat diasuh oleh penganjur agama Kristen, yang disebut Zending. Sekolah dasar pertama yang dibuka terdapat di Kesu, dekat Rantepao; pada tahun 1913. Pendeta yang berjasa itu bernama A.A.v.d. Loosdrecht, dibantu oleh Guru Manembu (asal Manado). Dalam setahun saja, telah terdapat 14 buah VS asuhan Zending, dengan jumlah murid sebanyak sekitar 700 orang. Pada umumnya guru-guru pada sekolah itu, terdiri dari suku Manado. Jumlah sekolah di Tana Toraja ketika Jepang masuk; ialah sebanyak kurang lebih 80 buah VS, dengan jumlah guru 180 orang, siswa/murid sebanyak sekitar 8.000 orang anak.
            Dari pihak penganut agama Katholik, yang penganjurnya disebut Missionaris, mulai membuka sekolah pada tahun 1927 di kota Makassar. kemudian, para Frater kelompok Tilburg membuka sekolah khusus bagi anak-anak orang Eropa. Nama sekolah itu : Europesche Lager School, disingkat ELS; pada tahun 1934 mulai menerima murid. Kegiatan Missionaris dari pihak Katholik kurang nampak di Tana Toraja. Pemerintah Hindia Belanda memandang, bahwa Tana Toraja seharusnya terhindar dari persaingan antara Protestan dengan Zendingnya, dan pihak Katholik dengan Missionaris-nya. Gerakan Missionaris mulai masuk ke Tana Toraja pada tahun 1939, tetapi hanya seorang saja pastor. Lagi pula, harus menetap di kota Makale saja.
            Sistem pendidikan asuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan materi pengajarannya, dipandang sebagai pendidikan “sekuler”. Artinya, pokok perhatiannya ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan Umum semata. Sementara yang diasuh pihak Zending dan Missionaris, yang juga memberikan pengetahuan Umum, dengan menyelipkan pendidikan keagamaan masing-masing.
            Di kalangan ulama agama Islam, sistem pengajaran masih terikat pada model lama, yakni pengajian di dalam mesjid. Murid-murid tidak memakai bangku, atau kursi dan meja tulis; melainkan duduk bersila di lantai. Pengajian di surau atau pondok dekat mesjid terdapat di Campalagian, Mandar. Menurut catatan, pengajian asuhan haji Maddeppungeng tersebut, dibuka pada tahun 1913, ketika kembali dari Mekah. Dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, misalnya Pinrang, Rappang, Soppeng, Wajo dan lain-lain calon murid datang ke Campalagian. Karena, ada yang berpendapat; bahwa pengajian di Campalagian merupakan pusat pembinaan kader muballigh Islam di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-XX. Sebagai pengajian pada umumnya, siswa yang masuk belajar, tidak dibatasi oleh usia.
            Pengajian yang agak teratur diasuh oleh Haji Muhammad As’ad bin Haji Abdul Rasyid, terletak di Sengkang, Wajo. Ia dilahirkan di Mekah pada tahun 1907, dari keluarga asal Wajo yang telah lama bermukim di saudi Arabia. Pada tahun 1928, ia kembali ke Wajo; dan segera mengeritik beberapa praktek-praktek keagamaan yang dinilainya berbau berhala. Pada tahun 1930, Haji As’ad, demikian nama panggilan populernya; membuka sebuah madrasah. Nama sekolah agama itu : Al Madrasatul Arabiyatul Islamiyah, disingkat MAI. Oleh penduduk setempat dikenal dengan nama : Sekolah Arab Haji As’ad. Dalam waktu yang relatif singkat sekali, madrasah asuhan Haji As’ad maju pesat. Murid-murid datang dari Luwu, Bone, Soppeng, Pare-Pare, Barru dan lain-lain masuk menuntut ilmu agama Islam di Sengkang. Lulusan sekolah ini kemudian menjadi pelopor pendidikan agama Islam, yang tersebar di Sulawesi Selatan.
            Hampir bersamaan waktu berdirinya MAI di Sengkang, di kota Palopo dibuka pula Madrasah Al Falah, asuhan Syekh Mahmud Al Jawad. Syekh Mahmud adalah bekas mufti Madina, Arabia. Ia tiba di Palopo lewat Garut, Jawa Barat. Murid-murid umumnya berasal dari kota Palopo, dan desa-desa sekitarnya.
            Di Watampone pada tahun 1933 atas inisiatip raja Bone, Andi Mappanyukki, dibuka al Madrasatul Islamiyah Amiriah Bone. Pimpinan dipegang oleh Abdul Azis Asysyimie, berasal dari Mesir. Pada tahun 1935, pimpinan madrasah beralih ke tangan Al Uztads Abdul Hamid Al Misyrie; yang kemudian digantikan oleh Al Uztads Mahmud Al Jawad, bekas mufti Madina, dan yang pernah mengajar di Palopo. Atas inisiatip Uztads Darwis Aminy, pimpinan madrasah pada tahun 1940, dibangun asrama dan gedung belajar yang agak teratur. Setiap tahun tidak kurang dari 150 murid-murid belajar pada madrasah Amiriah Bone.
            Raja Gowa bergelar Imangimangi Daeng Matuju Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin (1936-1946) memelopori pembukaan Madrasah Islamiyah, bertempat di Jongaya, Gowa. Pengajaran agama Islam yang diberikan berdasarkan berdasarkan mazhab Syafii. Pimpinan madrasah dipegang oleh Asysyekh Abdullah bin Shadaqah dahlan, penganjur mazhab Imam Syafii yang taat. Madrasah dibuka, ketika beberapa bulan saja Sultan Muhammad Tahir naik tahta di Gowa (1936). Murid-murid berasal dari Takalar, Jeneponto, dan dari Gowa sendiri. Ketika pecah Perang Dunia ke-II, madrasah terpaksa ditutup.
            Hampir bersamaan waktu pendirian madrasah Ishlahiyah di Gowa, di Mangkoso didirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di bawah asuhan Uztads Haji Ambo Dalle. Pengasuh sendiri merupakan bekas murid MAI Sengkang pimpinan Haji As’ad (oleh orang Bugis menyebutnya : Puang Haji Sade’). Pada waktu-waktu berikutnya, Haji Ambo Dalle memperluas madrasah, dengan nama baru Darud Da’wah wal Irsyad (disingkat DDI).
            Di Alekkuang, Sidenreng; dibuka Madrasah Islamiyah di bawah pimpinan Haji Muhammad Abduh Pabbaja (sekitar tahun 1937). Madrasah serupa dibuka pula di Rappang atas prakarsa Haji Muhammad Alyafi. Sedangkan Addatuang Sidenreng, bernama Andi Sulolipu, mendirikan madrasah Nasrul Haq. Guru sekaligus Kepala Madrasah tergolong orang berpengaruh; yakni Usman Isa. Ia berasal dari Gorontalo, daerah di Sulawesi Utara, yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, lagi taat.
            Ketika pemerintah kolonial Belanda diusir dari Indonesia, cukup banyak lembaga pendidikan Islam beraliran Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang tersebar di Sulawesi Selatan. Lembaga pendidikan tersebut cukup berhasil dalam pembinaan umat Islam dalam memahami ajaran agamanya. Para pemuda yang pernah belajar dalam setiap madrasah itu terbina kepribadiannya, terutama akidah Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Kecuali lembaga pendidikan agama Islam asuhan para ulama penganut Ahlu Sunnah wal Jamaah, terutama mazhab Syafii; di Sulawesi Selatan menjelang tentara Jepang masuk (1942), telah berkembang pula madrasah asuhan Muhammadiyah. Madrasah asuhan pihak Muhammadiyah, baik sistem, maupun struktur sekolah, menggunakan model sekolah asuhan Belanda. Pada tahun 1932, di kota Makassar dibuka lembaga pendidikan, yang diberi nama Tablig School. Sebagai bentuk awal, sekolah itu lebih mirip suatu kursus; dengan tujuan menciptakan kader muballig atau juru penerang agama Islam. Pelopor Tablig School ialah HAMKA, berasal dari Sumatera Barat. Para pengajar lainnya, masing-masing : Haji Darwis Zakariah, S.S. Jama’an Sachlan, dan Haji Kamaluddin.
            Pada tahun 1934, Tablig School dirobah menjadi Muallimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun itu pula didirikan HIS Muhammadiyah. Pengasuh berusaha mengadakan penyesuaian dengan lembaga pendidikan pemerintah. Karena itu, pemerintah kolonial masa itu sering kali memberikan subsidi. Di Sengkang pada tahun 1934 dibuka Woestha School atas prakarsa Andi Ninong bekerja sama dengan pimpinan Muhammadiyah Groep Sengkang. Pada tahun itu juga di kota Makassar dibuka Muallimin guna menyiapkan tenaga pengajar agama Islam.
            Bagi urusan pengajaran Muhammadiyah pada tahun 1935 membentuk kepanduan, sejenis pramuka. Nama kepanduan ialah Hizbul Wathan, yang artinya Pembela Tanah Air. Pada setiap lembaga pendidikan tingkat menengah didirikan kesatuan barisan Hizbul Wathan, disingkat HW. Latihan-latihan HW diutamakan pada upaya mempertinggi kepribadian sebagai kader umat islam, yang siap memikul segala tanggung jawab seorang Muslim. Ketrampilan baris-berbaris diberikan. Sikap ksatria dipompakan, misalnya semboyan : Ikhlas menolong orang lain, tetapi tidak mengharapkan pertolongan; dan lain-lain. Deru drumband mereka turut membangkitkan semangat bagi anggota HW dan masyarakat Islam sekitarnya. Hal ini dinilai cukup penting dalam menarik perhatian penduduk terhadap kegiatan pendidikan Muhammadiyah. Hingga tahun 1940, terdapat 56 buah sekolah milik organisasi tersebut, termasuk 4 buah HIS (sebuah mendapat subsidi dari pemerintah).
            Berbeda dari lembaga pendidikan agama Islam asuhan para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, ke dalam perguruan milik Muhammadiyah mulai diperkenalkan ide-ide pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. Sebabnya ialah, perguruan Muhammadiyah berada di bawah organisasi pergerakan nasional yang berpusat di Yogyakarta, Jawa. Tenaga pengajar banyak pula yang berasal dari Jawa, berikut asal Sumatera (misalnya HAMKA yang telah disebut di muka).
            Di kota Makassar pada tahun 1936 dibuka lembaga pendidikan yang secara terbuka menunjukkan sifat kebangsaan, yakni Perguruan Taman Siswa. Pemrakarsa ialah Mr. Sunaryo berdasarkan mandat dari Pengurus Pusat Taman Siswa, Yogyakarta. Mr. Sunaryo datang ke kota Makassar (1936) ditemani oleh Suwarno, salah seorang pengurus Taman Siswa di Yogyakarta masa itu. Di kota Makassar, Mr. Sunaryo bekerja sama dengan beberapa orang republiken, seperti Saelan, Sujimin, Goebel dan Isteri, Gani; dan lain-lain. Mereka itu kemudian menjadi tenaga pengajar. Kepala perguruan dipercayakan kepada Suwarno, berdasarkan penunjukan dari Yogyakarta.
            Struktur perguruan dan sistem pengajaran diatur sesuai dengan petunjuk dari Yogyakarta. Semangat dan jiwa kenasionalian mendapat perhatian besar. Bahasa Indonesia dan pelajaran Sejarah Indonesia diintensifkan. Sejak berdirinya, murid- murid Taman Siswa berasal dari anak-anak kaum republiken. Mereka itu pindah dari VVS masuk ke Taman Siswa, misalnya yang terjadi atas adik Wahab Tarru, bernama Nanang. Wahab Tarru sendiri menjadi pengurus perguruan. Susunan jenjang pendidikan yakni : Taman Anak, Taman Muda, dan Taman Dewasa (setingkat MULO masa itu; atau SMP sekarang). Berhubung para pengurus, guru-guru, berikut siswa-siswa Taman Siswa (terutama pada Taman Dewasa) berjiwa nasonal, maka perguruan itu amat berjasa dalam menyiapkan kader bangsa.
            Pada tahun 1973, Lengkong yang berasal dari Minahasa, mendirikan pula Perguruan Rakyat Indonesia. Para pengajar dan murid - murid sekolah itu umumnya
berasal dari Minahasa. Akan tetapi, setelah berdiri selama dua tahun, akhirnya ditutup pada tahun 1939. Sebagian murid - murid perguruan itu pindah ke Taman Siswa. Pada awak proklamasi kemerdekaan RI, perguruan Taman Siswa diubah namanya menjadi Perguruan Nasional. Ketika itu, beberapa pemuda belasan tahun menjadi siswa  SMP Perguruan Nasional, seperti Maulwi Saelan, Robert Wolter Monginsidi, Rivai Paerai dan lain - lain.
            Sejak tahun pertama perguruan Taman Siswa dibuka, dibentuk pula Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Siswa Taman Dewasa menjadi inti KBI, dan kelas tertinggi pada tingkat Taman Muda. Mereka itu kemudian menjadi kader utama lahirnya pejuang kemerdekaan di kota Makassar, dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Salah seorang pimpinannya ialah Wahab Tarru. Tokoh utama yang lain, Manai Sophian, yang dalam perkembangan KBI tampil sebagai pimpinan yang cukup berpengaruh di Sulawesi Selatan.
            Keadaan pendidikan masa Jepang mengalami pasang surut. Beberapa perguruan terpaksa menutup pintu kelasnya, berhubung tekanan dari pemerintah militer Jepang. Baik sekolah asuhan Muhammadiyah, maupun perguruan Taman Siswa; berada dalam situasi tidak menentu. Janji Jepang sebelum mendarat telah dilupakan. Mereka berbalik menjadi kasar dan kejam.
            Segera setelah kemerdekaan diproklamirkan, dua perguruan Nasional dan perguruan Islam Datumuseng. Menurut catatan pada perguruan yang bersangkutan, perguruan Islam dibuka pada tanggal 1 Oktober 1945. Para pendirinya masing- masing Haji Mansyur Daeng Tompo, Haji Gazali Sachlan, Haji Darwis Zakariah; dan lain-lain. Tujuan utama pembukaan perguruan Islam tersebut, ialah pembinaan umat Islam dalam usaha mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Pengelola perguruan berada di bawah organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang berpusat di Jawa.
            Seminggu setelah perguruan Islam Datumuseng dibuka, Dr. Ratulangi bersama-sama Lanto Daeng Pasewang, Suwarno dan lain-lain mengaktifkan kembali Taman Siswa, menjadi Perguruan Nasional. Pada tanggal 8 Oktober 1945 sekolah dibuka. Tingkat pendidikan yang mula-mula dibuka, SMP; dengan nama SMP Nasional. Dengan amat cepat murid-murid banyak yang masuk belajar. Berhubung para pengurus, tenaga pengajar, dan siswa-siswa terdiri dari pendukung kemerdekaan; maka sekolah ini digelar pula SMP Perjuangan. Direktur pertama ialah Dr. Ratulangi; di samping jabatannya selaku Gubernur Sulawesi. Ketika Dr. Ratulangi ditawan pada pertengahan 1946, kedudukannya sebagai direktur dijabat oleh Syam.
            Pergerakan kebangsaan mulai muncul di Sulawesi Selatan sejak tahun 1918, dengan didirikannya PSII di kota Makassar. Kegiatan partai politik tersebut belum nampak, karena pemerintah kolonial Belanda mengadakan pengawasan yang amat ketat. Karena PSII menunjukkan sikap yang tidak membahayakan, pemerintah kolonial mengijinkan pula berdirinya PKI pada tahun 1923. Akan tetapi, organisasi politik PKI kurang subur, karena penduduk Sulawesi Selatan terkenal amat taat pada agamanya. Pada tahun 1929, beberapa orang pedagang batik dari Pekalongan, bekerja sama dengan tokoh agama di Makassar; mendirikan pula perkumpulan Muhammadiyah. Usaha Muhammadiyah pada bidang sosial cukup menarik perhatian. Pada tahun 1930, Muhammadiyah membuka lembaga pendidikan di Makassar .
            Partai politik kebangsaan yang agak maju, ialah PSII. Pada tahun 1935, sebuah gedung pertemuan didirikan, dengan nama Gedung Mutiara. Ketika itu, sekitar 5 cabang PSII di Sulawesi Selatan. Kota Makassar dan Pare - Pare menjadi pusat kegiatan organisasi kebangsaan itu sebelum Jepang mendarat. Pemuda - pemuda diorganisir ke dalam Pemuda Muslimin Indonesia (PMI). Di bidang kepanduan; dibentuk pandu SIAP, singkatan dari Syarikat Islam Angkatan Pandu. Dengan demikian, terdapat dua kepanduan yang menampung kegiatan Pemuda Indonesia yang beragama Islam, yakni pandu SIAP dan HW. Pandu HW (Hizbul
Wathan) merupakan organ perserikatan Muhammadiyah. Dalam tahun 1937 di kalangan PSII bertumbuh barisan Penyadar yang berhaluan keras terhadap pemerintah kolonial. Jumlah anggota inti Penyadar di Sulawesi ketika itu, sekitar 40 orang saja. Akan tetapi, pengaruhnya cukup dirasakan oleh pihak penguasa.
            PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan di kota Makassar pada tahun 1929, akhirnya bubar pada tahun 1930. Sikap keras Ir. Sukarno, pemimpin utama PNI di Jawa, menyebabkan pemerintah kolonial menyatakan partai tersebut dilarang kegiatannya. Para pendukung PNI kemudian mebentuk PARINDRA, singkatan dari Partai Indonesia Raya. Pada bulan Januari 1936, PARINDRA cabang Makassar terbentuk. Semula, kegiatan partai dalam bidang pendidikan. Dibuka lembaga pendidikan untuk memberantas buta huruf yang dinamakan Sekolah ABC. Karena mulai melakukan kegiatan politik pada tahun 1937, pemerintah kolonial mengambil tindakan melarang kegiatan partai tersebut.
            Dua belas tahun setelah PARINDRA dibekukan, Najamuddin Daeng Malewa yang juga bekas anggota partai itu, mendirikan PSS (Rersatuan Selebes Selatan). PSS dinyatakan berdiri pada bulan April 1939. Organisasi ini agak loyal terhadap pemerintah kolonial. Mungkin, para pemimpinnya takut terhadap resiko pembubaran atau juga ada terselip maksud - maksud lain.
            Pada umumnya organisasi pergerakan atau partai politik di Sulawesi Selatan, kurang dikenal rakyat umum. Setiap organisasi politik mempunyai anggota antara 20 hingga 200 orang. Partai politik yang terbesar pada tahun 1930 - an ialah PSII, dan bertahan hingga tahun 1940. Nahdatul Ulama (NU) hanya beranggotakan sekitar 50 orang, semuanya berdomisili di Makassar.
            Organisasi Muhammadiyah merupakan satu - satunya wadah yang mampu menghimpun ribuan anggota. Pada tahun 1940, tercatat ada 4000 orang anggota aktif Muhammadiyah, tersebar di seluruh Sulawesi Selatan. Kecuali itu, terdapat lagi organisasi kewanitaan. Muhammadiyah (otonom), dengan 2000 orang anggota. Ratusan orang anggota Muhammadiyah menjadi  anggota rangkap, masuk menjadi anggota PSII. Dalam kegiatan politik sebagai anggota PSII, tetapi kegiatan sosialnya bergerak dalam organisasi Muhammadiyah.

1 komentar:

  1. assalamu alaikum maaf ini bisa tidak di bantu ini artikel sangat bermanfaat untuk tugas makala s2 saya tapi butuh sumber dan catatan kaki dari tulisan ini

    BalasHapus