Selasa, 19 April 2011

TIPE MANUSIA (ANAK) DALAM PERSPEKTIF AL - QURAN





A. Pendahuluan.

            Al - Quran merupakan pedoman hidup bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Ajarannya sangat kompleks dan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Ajaran Islam sangat berperan dalam upaya membentuk kehidupan keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Karena itu, tidak pula cukup bila hanya al - Quran dipelajari dan dipahami, tetapi lebih dari itu, dan mutlak untuk diamalkan oleh setiap individu, kelompok dan golongan, terutama generasi muda selaku penerus dan pelanjut estafet cita - cita bangsa dan agama.
            Oleh karena itu, orang tua perlu meyadari betapa pentingnya pembinaan dan pendidikan agama bagi anak dalam keluarga. Karena generasi itulah yang merupakan harapan bangsa yang akan menjadi pemangku “amanah kepemimpinan” dikemudian hari. Selaku generasi muda, sejak dini perlu dibekali pendidikan dan yang paling urgen adalah “pendidikan agama Isalam” yang akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmanai dan rohani ke arah budi pekerti yang luhur.
            Mengingat perkembangan sosio kultural dan teknologi dewasa ini, semakin maju dan kompleksitas yang dapat memberikan nuansa positif maupun dampak negatif, juga keterbatasan kemampuan kebijaksanaan masyarakat dalam mengidentifikasi persoalan - persoalan yang mungkin muncul di permukaan, baik langsung maupun tidak langsung menyentuh kehidupan generasi muda. Akan tetapi,
yakinlah bahwa hal itu lambat laun akan mengkristal dalam kehidupan masyarakat, kini atau masa yang akan datang.
B. Bentuk - Bentuk Anak Dalam Tinjauan Al - Quran.
            Manusia lahir ke dunia ini, tidak langsung besar dan pintar, bahkan tidak membawa bekal ke dunia sedikitpun. Tuhan hanya membekali tiga hal sebagai senjata yang sangat ampuh dikemudian hari, yaitu: pendengaran, penglihatan dan akal pikiran.
            Ketiga bekal ini dapat berfungsi dngan baik untuk dijadikan mediator dalam perjalanan hidup manusia di dunia menuju kehidupan hakiki (akhirat) (Lihat Q.S. an - Nahl: 78)
            Pada prinsipnya, Alquran telah memberikan isyarat secara umum bahwa ada tiga corak anak manusia, yaitu hiasan hidup dalam keluarganya, ujian bagi orang tuanya dan musuh baginya.
             1.   Anak sebagai Hiasan Hidup.
            Pada hakekatnya setiap orang tua mengharapkan akan keturunan yang akan menjadi pelanjut perjuangannya, senantiasa mendambakan anaknya mempunyai kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupannya sendiri.
            Kehadiran seorang anak dalam keluarga, terutama bagi suami-isteri yang telah lama mendambakannya, sudah pasti akan mendatangkan suasana yang berbeda, terutama menjadi penghibur hidup bagi pasangan suami-isteri tersebut, kehidupan rumah tangga mereka akan lebih semarak dan riang dibanding sebelumnya. Dalam Alquran telah dinyatakan bahwa anak disamping harta, merupakan perhiasan kehidupan. Hal ini sesuai dengan ayat yang artinya: “Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. al-Kahfi: 46).
            Dari ayat tersebut, mengisyaratkan bahwa harta benda dan anak adalah dua hal yang senantiasa menjadi tumpuan harapan manusia. Namun Alquran kemudian mengingatkan agar keberadaan harta benda dan keturunan tidak menjadikan seseorang menjadi lupa kepada penciptanya. Pada akhirnya menggiring mereka mengabaikan untuk memperbanyak ibadah dan amal saleh, sesungguhnya justru menjadi modal utama untuk meraih kehidupan yang bahagia di akhirat. Sedangkan harta benda dan anak keturunan yang kita miliki hanya akan menjadi hiasan hidup yang sifatnya sementara, belum tentu mengantar kepada kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak.
            Harta benda dan anak sebagai hiasan hidup dalam artian yang sesungguhnya, mungkindapat dimunculkan sebagai perumpamaan seperti: tipe Ismail putra Nabi Ibrahim as, Ismail as. sebagai anak taat dan saleh, ketika dimintai tanggapannya dari orang tuanya, mengenai perintah Tuhan yang intinya memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Ismail as. mendengar pernyataan ayahnya itu, Ismail as bukan hanya menyatakan kesiapannya secara mantap dan meyakinkan, tetapi juga berupaya untuk meringankan beban berat yang dihadapi orang tuanya (lihat. QS. al-Shaffat: 100-111).
             2.   Anak sebagai Fitrah
            Di samping anak sebagai hiasan hidup, Alquran juga telah menyatakan bahwa sebagian anak sebagai fitrah bagi orang tuanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan ayat yang artinya: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan bagimu dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang benar” (QS. al-Anfal: 28).
            Kosa kata fitnah secara literal memberikan makna membakar logam emas atau perak untuk menguji keaslian dan kemurniannya. (lihat, al-Raghib al-Asfahani, al-Mu’jam li alfaz al-Quran).
            Dari pengertian seperti ini, maka anak sebagai fitrah, yakni sebagai ujian atau cobaan bagi orang tuanya mengenai kualitas keimanan dan tanggung jawab mereka untuk membina dan membimbing serta mengarahkan mereka kepada ajaran yang dasarnya semua anak menjadi fitnah (cobaan atau ujian bagi orang tuanya), dan sebagian di antara anak itu bahkan menjadi musuh bagi orang tuanya.
             3.   Anak sebagai Adwun (musuh)
            Alquran di samping menyatakan anak sebagai hiasan hidup dan ujian bagi orang tuanya, juga dapat menjadi musuh bagi orang tuanya. Pernyataan seperti ini, dapat kita simak ungkapan Alquran yang terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara pasangan (suami isteri) kamu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…”(lihat, QS. al-Taghabun: 14).
            Berdasar makna ayat tersebut, bahwa kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan ayah (suami) untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Namun harus dipahami bahwa kosa kata aswaj pada ayat tersebut, tidak hanya diartikan isteri saja, tetapi jga suami. Karena kata aswaj, pada dasarnya berarti pasangan. Dengan begitu, dapat dinyatakan bahwa yang mungkin terjerumus ke dalam perbuatan yang terlarang agama, bukan hanya isteri, tetapi mungkin juga ayah atau suami.
            Penegasan anak sebagai musuh bagi orang tuanya, tidak hanya terbatas kepada kemungkinan menjerumuskan orang tua kepada hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama, tetapi juga ketika anak sudah jauh menyimpang dari kebenaran dan orang tua tidak mampu lagi untuk mengembalikannya dan membawanya ke jalan yang benar. Sehingga dengan terpaksa mereka bersimpang jalan. Hal ini, dapat dipaparkan kisah Nabi Nuh as. dan putranya yang durhaka kepada Tuhan. Mungkin bisa dijadikan sebagai tamsil untuk tipe anak yang menjadi musuh bagi orang tuanya.
             III.    Upaya Pembinaan Generasi Muda yang Berkualitas
             Ajaran Islam mengakui eksistensi individual bahwa pada diri manusia terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu jasmani dan rohani. Kedua aspek tersebut, tak dapat terpisahkan yang masing-masing memerlukan pemenuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, yang paling berperan adalah orang tua. Karena orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama dalam lingkungan keluarga, (lihat H. Abdurrahman, Ilmu Pendidikan, Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islami). Di samping itu, agama Islam juga mengajarkan dan menganut prinsip “tawazun” (keseimbangan) antara kedua aspek tersebut.
             Pada prinsipnya, semua orang tua mendambakan kesehatan anaknya lahir dan batin serta mengharapkan mereka menjadi “qurrat a’yun’ (buah mata). Untuk menjadikan anak keturunan yang lebih baik dan patuh terhadap orang tua serta taat menjalankan ajaran agama Islam, maka sudah barang tentu pembinaan dan didikan diperkenalkan kepada mereka sejak dari kecil agar agar setelah dewasa akan berbekas pada diri anak tersebut, pada akhirnya akan mendarah daging dalam hidupnya yang mungkin sulit untuk dilupakan. Jalaluddin Rahmat menyatakan bahwa untuk membina masyarakat dan keluarga muslim, maka harus dilakukan sejak lahir dan bahkan sebelum lahir sudah harus ada pendidikan agama terhadap kedua calon kedua orang tuanya, sehingga anak yang lahir sebelum nikah, sudah jauh dari pendidikan agama. (lihat, Jalaluddin Rahmat, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern).
             Para ahli pendidikan mengatakan bahwa ada banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap pembinaan anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Namun yang paling dominan dan sangat berperan untuk mewujudkan hal tersebut adalah faktor keturunan dan faktor pendidikan. (lihat, M. Quraish Shihab, Lentera Hati).
             1.   Faktor Keturunan
            Agamawan dan ilmuwan menyatakan bahwa orang tua berpotensi mewariskan sifat-sifat jasmaniah dan rohaniah melalui gen yang mereka miliki kepada anak cucunya. Karena Nabi Muhammad Saw. Memberikan peringatan agar selektif dalam memilih tempat menaburkan benih yang mengandung gen, “pilihlah (tempat menaburkan) mufhtah kamu, karena sesungguhnya al-Iraq (gen) itu memberi pengaruh (bagi keturunanmu)” (hadis).
            Para ilmuwan menyatakan bahwa gejolak jiwa yang dialami seorang laki-laki dan perempuan pada saat melakukan hubungan biologis dapat mempengaruhi jiwa anak yang dibuahkannya. Karena itu, agama menganjurkan agar pada saat puncaknya kenikmatan, upayakan untuk berdoa. (lihat, Quraish Shihab, Lentera Hati).
             2.   Faktor Pendidikan
            Sangat banyak jumlahnya ayat yang menganjurkan kepada orang tua agar mendidik putra putri mereka dengan menanamkan nilai-nilai aqidah, ibadah dan akhlak (etika) sedini mungkin. (lihat, QS. Luqman: 12-19).
            Sehubungan dengan itu, al-Gazali menyatakan bahwa jika orang tua selalu berusaha agar anaknya tidak tersentuh oleh api dunia, maka seharusnya mereka lebih wajar memelihara mereka agar tidak tersentuh oleh api neraka di akhirat. Hal itu dilakukan lewat pendidikan, ajaran dan latihan agar mereka memiliki akhlak atau budi pekerti yang terpuji. (lihat, al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Din).
            Walaupun orang tua berperan penting dalam lingkungan keluarga, akan tetapi hal tersebut tidak cukup efektif jika tidak didukung oleh lingkungan sekolah dan masyarakat, demikian pula sebaliknya. Karena penciptaan suasana yang kondusif dan harmonis dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak mutlak diperlukan. Ketiga lingkungan tersebut lebih dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan mempunyai hubungan simbiosis dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Alquran jauh sebelum itu, telah mengingatkan agar tidak meninggalkan zurriyatan dhi’afan (generasi yang lemah), baik fisik maupun mentalnya. Hal seperti ini, tidak bisa dipahami secara sempit, sebagai tanggung jawab orang tua saja, tetapi generasi muda merupakan tanggung jawab bangsa dan seluruh elemen masyarakat.
            Kenyataan sosial menunjukkan bahwa tidak sedikit ditemukan anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang patuh dan taat beragama, tetapi kemudian setelah dewasa menjadi anak yang nakal. Salah satu penyebabnya adalah karena lingkungan yang kurang mendukung, dimana anak tersebut tumbuh dan berkembang di lingkungan yang tidak menguntungkan, untuk menjadi anak yang saleh. Di samping itu, Alquran juga mengajarkan bahwa yang tidak kalah pentingnya dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah faktor hidayah yang sepenuhnya datang dari Allah Swt, sedang manusia hanya mampu berusaha dan berikhtiar, tetapi keputusan dan hasilnya hanya ada padaNya.



1 komentar:

  1. Sebagai orangtua saja tidak begitu mendalami agamanya...bagaimana akan menasehati anak? Anak-anak sekarang cerdas, jika kita tidak memberi contoh jangan bermimpi yang lebih dari anak2 kita. Teori sudah ada pelaksanaannya suliittt...

    BalasHapus