Rabu, 13 April 2011

MULOK BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM


Maraknya penyimpangan etika dan moral yang dilakukan oleh siswa belakangan ini menimbulkan polemik yang seakan tiada muaranya. Akibatnya, terjadi saling menyalahkan antara orang tua siswa, guru serta masyarakat. Lebih parahnya lagi, guru (guru Pendidikan Agama) yang sering dikambinghitamkan dalam persoalan ini. Tentu sebagai guru Pendidikan Agama Islam (disingkat PAI) berhak membela diri. Namun, tuduhan yang dilontarkan kepada guru PAI harus kita terima dengan lapang dada karena mau tidak mau tujuan PAI di sekolah - sekolah bukan hanya mengajarkan kepada para siswa pengetahuan agama saja (kognitif), namun lebih dari itu, penanaman akhlakul karimah (afektif) jauh lebih penting lagi.
          Kurangnya jam pelajaran PAI di sekolah - sekolah umum (SD, SMP dan SMA) yang hanya 2 jam pelajaran sering dijadikan alasan para guru PAI. Waktu yang 2 jam pelajaran tersebut sangat tidak memungkinkan untuk mengajarkan pengetahuan agama secara menyeluruh. (Bandingkan dengan Madrasah yang mata pelajaran agamanya rata - rata 8 - 10 jam seminggu).
          Belum lagi mengejar target kurikulum yang harus dituntaskan. Belum tuntas mengajarkan  tata cara berwudlu kepada siswa, mungkin pertemuan berikutnya sudah harus mengajarkan kisah Nabi Daud AS, misalnya. Kalau ini tidak dilaksanakan, maka target kurikulum tidak akan tuntas diajarkan.
          Hal tersebut belum terlalu parah, bagaimana lagi misalnya kalau di dalam 1 kelas sebagian siswanya tidak tahu membaca al - Quran. Bagaimana siswa mau diajarkan tata cara shalat yang benar kalau membaca al - Qurannya saja acak - acakan? Namun dilemanya ketika guru Agama (PAI) memfokuskan pengajarannya pada belajar membaca al - Quran saja, tentu siswa yang sudah pintar membaca al - Quran akan merasa bosan dan jenuh dengan kegiatan tersebut. Belum lagi target kurikulum akan terbengkai.
          Dilematis memang. Sebagai guru yang profesional, kita dituntut tertib secara administrasi (mengajar sesuai kurikulum) dan di sisi lain ketertinggalan siswa (Khususnya dalam membaca al - Quran) tetap harus mendapat prioritas dan tak boleh dibiarkan begitu saja. Berbeda mungkin dengan pelajaran yang lain, Matematika misalnya, pertanggung jawaban guru sebatas UN saja, tapi PAI pertanggung jawabannya  bukan hanya sebatas kemampuan kognitif siswa menjawab soal - soal ujian saja, tetapi di akhirak kelak guru yang bersangkutan akan mempertanggung jawabkan siswa yang dibinanya.
          Namun ironisnya, jika terjadi penyimpangan etika dan moral di kalangan siswa (penyalahgunaan narkoba, tawuran , seks bebas, dll), maka yang pertama dipertanyakan eksistensinya adalah guru yang mengajarkan moral (baca guru Agama). Namun sekali lagi, ironisnya, yang menentukan keberhasilan siswa di sekolah adalah adalah hanya mata pelajaran yang di - UN - kan.
          Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang diberlakukan sekarang, dijelaskan bahwa jam pelajaran untuk PAI ditingkatkan menjadi 3 jam pelajaran. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi guru PAI yang selalu mengeluh “kekurangan jam.” Inipun sebetulnya masih kurang jika dilihat dari banyaknya materi yang akan diajarkan kepada siswa. Mengajarkan membaca al - Quran, tata cara berwudlu, shalat, dll kepada puluhan siswa tentu tidak cukup dengan hanya beberapa kali pertemuan saja. Namun demikian, tambahan 1 jam pelajaran menjadi 3 jam pelajaran setidaknya memberi kesempatan kepada guru untuk berkreasi meramu materi pelajaran sehingga target kurikulum yang selalu dijadikan alasan tidak menjadi kendala lagi.
          Disamping penambahan jam pelajaran tersebut, dalam KTSP pun memberikan keluwesan kepada guru untuk memanfaatkan mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal) dengan memberikan materi Baca Tulis Al - Quran dan materi - materi lain yang relevan dengan PAI. Dengan demikian guru memiliki banyak ruang dan waktu untuk lebih dekat dengan para siswa (tatap muka di kelas).
          Dalam Mulok Baca Tulis al - Quran ini, oleh Dinas Pendidikan SUL - SEL disusun “Buku  Panduan Muatan Lokal Baca Tulis Al - Quran Untuk Sekolah Dasar (SD/ MI)” sehingga para guru PAI tidak akan kesulitan dalam mengajarkan Mulok Baca Tulis Al - Quran tersebut. Tinggal sekarang bagaimana guru menciptakan iklim dan lingkungan belajar yang menarik, nyaman dan ramah sehingga siswa tidak merasa jenuh dengan adanya tambahan mata pelajaran  Mulok Baca Tulis Al - Quran ini.
          Yang menarik dari Modul ini adalah materi yang disajikan mirip dengan materi yang diajarkan oleh Taman Pendidikan Al - Quran (TPA). Semisal nasyid yang disajikan merupakan lagu - lagu yang populer di kalangan siswa. Namun sayangnya, banyak nasyid yang ada di dalam modul tersebut tidak dilengkapi dengan not (balok dan angka) sehingga menyulitkan bagi guru untuk mengajarkan jika ada lagu yang tidak diketahuinya.
          Alangkah bijaknya jika seandainya diadakan pelatihan (training/ TOT) bagi guru PAI sebelum menggunakan modul tersebut. Karena dikhawatirkan masih ada teman - teman guru yang belum mampu mengaplikasikan modul tersebut.
          Apa yang diupayakan oleh pemerintah ini haruslah direspon positif  khususnya bagi guru PAI yang ditugaskan di sekolah umum. Namun demikian, kita juga tidak menutup mata bahwa mengajarkan PAI di sekolah umum kalah “pamor dan gengsi” dibanding mengajarkan sains dan teknologi. hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
  1. Mata Pelajaran PAI tidak di - UN - kan (SMP & SMA). Ada kecenderungan sekarang bahwa mata pelajaran yang di - UN - kan (Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggiris dan menyusul IPA) mendapat  porsi “lebih” dibanding dengan mata pelajaran lain. Dan alangkah naifnya jika siswa yang sudah lulus UN kemudian oleh guru PAI - nya tidak diluluskan hanya dengan alasan siswa tersebut tidak bisa membaca al - Quran.
Pemberian porsi “lebih” ini terlihat di sekolah - sekolah (termasuk Madrasah) dengan memberian pengayaan ( belajar sore) untuk menyiapkan siswa mengikuti UN. Bahkan belakangan ini Pemerintah memberikan dana khusus untuk pembiayaan pengayaan mata pelajaran yang di - UN - kan. Yang lebih parah lagi (mudah - mudahan tidak terjadi) kalau ada segelintir guru yang memberikan pernyataan kepada siswanya untuk memberikan perhatian lebih pada mata pelajaran tertentu saja, sehingga terkesan bahwa pelajaran yang lain tidak penting dan sudah pasti lulus.
2.  Profesionalisme dan kompetensi guru PAI.
              Salah satu yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar dari guru PAI adalah pemanfaatan media pelajaran yang berbasis teknologi dalam pengajaran. Adanya paradigma yang mengatakan bahwa guru agama cukuplah mengajar mengaji, berwudlu serta shalat. PAI tidak ada sangkut pautnya dengan teknologi (komputer, internet, dll) adalah paradigma yang harus diubah.
Penerapan teknologi untuk membantu proses pendidikan bukanlah fenomena baru lagi. teknologi telah membuktikan kegunaannya sebagai alat belajar yang sangat berharga. Teknologi mampu mengubah wajah masyarakat suatu bangsa. Sebagai ilustrasi di negara yang telah maju dan telah menguasai dan mengaplikasi teknologi, dinamika masyarakatnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan dinamika masyarakat dunia ke tiga atau negara-negara berkembang di dunia.
Dalam PAI pun, pemanfataan teknologi akan sangat membantu para guru jika mampu menguasai dan menggunakannya. Alangkah menariknya PAI (pelajaran shalat misalnya) jika siswa menyaksikan praktek shalat lewat focus yang tersambung dengan laptop. Atau mencari buku - buku refrensi di internet yang connect ke perpustakaan Perguruan Tinggi Islam (misalnya UIN Makassar).
Tentu bagi siswa, belajar seperti ini akan memberikan pengaruh dan motivasi bahwa belajar agama (PAI) ternyata sangat menyenangkan dan tidak monoton; duduk sambil mendengar ceramah dari gurunya saja.
3.  Ketersediaan Sarana.
Sarana pendidikan baik berupa fisik seperti tempat belajar, alat peraga maupun non fisik seperti kurikulum, metode pendidikan, suasana pendidikan dan sebagainya adalah suatu faktor yang sangat menunjang keberhasilan pendidikan. Tanpa sarana yang cukup memadai, proses pendidikan tidak akan berlangsung dengan baik dan lancar.
Pendidikan agama sebagaimana pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas. Bila di sekolah ada laboratorium IPA, Biologi, Bahasa, maka sebetulnya sekolah juga membutuhkan laboratorium Agama.
          Ini hanyalah sedikit gambaran tentang masalah PAI di sekolah umum. Tentu masih banyak lagi masalah dan problem yang dihadapi masing - masing oleh guru PAI. Mungkin di satu sekolah menghadapi masalah seperti yang dikemukakan di atas, namun di sekolah lain menghadapi masalah yang berbeda.
          Namun sebagai guru yang profesional, apapun yang terjadi tentu tidak akan menyurutkan niat kita untuk tetap mencerdaskan kehidupan bangsa; cerdas berpikir dan cerdas berakhlak. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar