Selasa, 19 April 2011

ZAKAT PROFESI



            Zakat dan ibadah mulia lainnya belakangan ini menjadi isu yang cukup luncang terdengar. Menuatnya kembali harapan (estimasion) beberapa kalngan terhadap implementasi ajaran zakat terkait erat dengan kondisi bangsa kita yang carut - marut sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kondisi ini berakibat pada terjadinya kesenjangan penguasaan perekonomian antarwarga negara menjadi kian menganga. Pada saat itulah, zakat dan ibadah harta lainnya kembali “dilirik” dan diharapkan dapat mengatasi problem kemiskinan ummat.
            Potensi ekonomi zakat jika dikelola secara optimal dan profesional dapat menjadi sebuah kekuatan ekonomi ummat Islam. Seperti empat rukum Islam yang lain, ajaran zakat mengandung beberapa dimensi yang kompleks meliputi nilai privat - publik, vertiakl - horizontal serta duniawi - ukhrawi. Nilai - nilai tersebut merupakan landasan pengembangan kehidupan kemasyarakatan yang bersifat komprehensif. Bila semua dimensi yang terkandung di dalam ajaran zakat ini dapat diaktualisasikan, maka zakat akan menjadi sumber kekuatan yang luar biasa bagi pengembangan ummat Islam.
            Keutamaan ajaran zakat jika dibandingkan dengan ajaran - ajaran lain menunjukkan bahwa hanya zakatlah yang paling sarat dengan nilai - nilai sosial. Oleh karena itu, zakat dalam mata rantai peningkatan kesejahteraan ummat Islam tidak mungkin diremehkan.
            Untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat dan pendayagunaan zakat, beberapa daerah telah menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang zakat.
            Dalam beberapa tahun terakhir ini zakat profesi banyak diperbincangkan, didiskusikan dan diseminarkan. Dari perbincangan, diskusi dan seminar itu muncul beberapa pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hasil dari profesi itu wajib dikeluarkan zakatnya, ada pula yang perpendapat tidak wajib.  Bagi yang berpendapat wajib. maka orang Islam yang hanya profesinya melebihi kebutuhan hidupnya selama satu tahun dan mencapai batas nishab (85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %. Pendapat ini didasrkan pada:
                1. Dhahir dan keumuman ayat, “wahai orang - orang yang beriman, infakkanlah (keluarkan zakatnya)  dari sebagian usahamu yang baik - baik. (Q. S. Al - Baqarah :267), sehingga apabila profesi itu halal ia termasuk usaha yang baik, maka wajib dikelrakan zakatnya.
                2. Dengan mengqiyaskan kepada harta perniagaan dimana masing - masing merupakan kegiatan atau usaha yang baik.
            Apabila kita memandang zakat sebagai hak kebendaan (hak maily) milik fakir miskin yang wajib dikeluarkan oleh orang - orang kaya ( aghniyah), maka pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi itu wajib dikeluarkan zakatnya, maka itu tidak perlu dipersoalkan lagi.
            Dewasa ini banyak ragam profesi yang ditekuni seseorang sehingga dengan profesi itu membuat mereka kaya raya, misalnya pengacara atau advokat. Profesi pengacara apabila dikeluarkan oleh seorang lawyer yang sudah punya nama besar
dan memiliki klien yang banyak, dapat mendatangkan rupiah ratusan juta, bahkan milyaran sebulan. Demikian pula artis sekaliber Krisdayanti, Inul Daratista dan lain - lain atau profesi presenter seperti Eko Patrio yang sekali manggung dapat menghasilkan uang puluhana bahkan ratusan juta rupiah. Dan konon ada artis dan presenter yang menghasilkan uang milyaran setiap bulan.
            Apabila setiap orang yang menekuni profesi tersebut sadar bahwa di dalam penghasilannya itu ada hak fakir miskin berupa zakat yang wajib dikeluarkan, maka zakat profesi itu merupakan potensi besar yang dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi ummat Islam, dan boleh jadi dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mengangkat harkat dan martabat kaum dhu’afa.

MEMPRODUKSI ZAKAT
            Distribusi dana dari zakat sebenarnya sudah diatur dalam Al - Quran surah at - Taubah :60. Yang menarik untuk dikaji adalah bentuk penyalurannya yang selama ini dialokasikan dalam bentuk konsumtif. Sistem penyaluran ini tidak membuat kondisi kemiskinan ummat semakin membaik, bahkan akan menciptakan dan menyubukan mental - mental ketergantungan (karitatif). Memang, dalam kondisi tertentu, penyaluran zakat terhadap mustahiq harus dilakukan bersifat konsumtif, namun itu bersifat sementara. Untuk jangka panjang, dana zakat harus dialokasikan dalam bentuk produktif, investasi dan sebagainya. Mem-produktifkan dana zakat inilah yang menjadi visi dan misi Undang - Undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
            Dalam Islam dikenal ada dua jenis zakat yaitu zakat Maal dan zakat Fitrah. Zakat Fitrah disyariatkan dengan tujuan untuk menggembirakan fakir miskin dan kaum dhu’afah pada hari raya idul fitri. Ini merupakan  isyarat bahwa zakat fitrah ini disalurkan dalam bentuk konsumtif.
            Lain halnya dengan zakat maal ( harta ), ia wajib dikeluarkan dari jenis harta tertentu, dan jenis - jenis harta yang wajib dizakati itu memiliki illah (sebab musabab) bahwa harta itu dapat dikembangkan atau diproduktifkan. Sehingga ini adalah isyarat bahwa harta zakat hanya mungkin dikembangkan apabila pendistribusianya dilakukan dalam bentuk produktif.
            Penyaluran zakata dalam bentuk produktif sebenarnya sudah lama dibahas oleh ulama - ulama Fiqih dalam kitab - kitab klasik maupun kontemporer. Dalam kitab Al - Majmu’ Ashhabina (Murid - murid Imam Syafi’i/ Penerus Mazhabnya) mengatakan : “Apabila fakir atau miskin itu sudah bisa bekerja (mempunyai keterampilan), maka ia diberi zakat untuk digunakan sebagai modal usaha atau untuk membeli alat - alat yang digunakan untuk bekerja.”
            Dalam buku yang sama beliau mengatakan,”Apabila fakir dan miskin itu tidak memiliki keterampilan sama sekali, maka ia diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang layak selama hidupnya, dan ukuran menurut standar kehidupan hidup setempat, dan tidak diukur dengan kebutuhan satu tahun.”
            Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa penyaluran zakat dimaksudkan untuk membebaskan fakir dan miskin dari belenggu kefakiran dan kemiskinan. Oleh karena itu, penyaluran secara konsumtif hanya diberikan kepada
mereka yang tidak memiliki kemampuan atau keterampilan untuk bekerja sama sekali.
            Pendapat pengikut Syafi’I yang klasik tersebut ternyata tetap didukung oleh ahli - ahli fiqih yang relatif kontemporer, misalnya mengatakan: “ fakir dan miskin diberi zakat yang cukup untuk biaya hidup yang wajar, sehingga dengan harta zakat itu mereka dapat membeli ladang atau sawah untuk digarap.”
            Pemerintah juga dapat membeli ladang atau sawah untuk fakir miskin dengan harta zakat, sebagaimana halnya kepada prajurit yang berperang.
            Harta zakat juga dapat diinvestasikan dalam perusahaan agar lebih berkembang. Bahkan harta zakat daripada sekedar untuk membeli alat - alat produksi, maka bagi mustahiqqin (penerima zakat) yang mempunyai keahlian berwiraswasta misalnya, tidak saja diberi zakat untuk membeli alat - alat yang diperlukan, tetapi juga diberi modal usaha dari harta zakat agar mereka dapat lebih mengembangkan usahanya, dan untuk kepentingan mereka pula, kita juga dapat mendirikan perusahaan yang dapat menyerap tenaga kerja dari kalangan mereka. Dan bisa saja dari keuntungan perusahaan itu kita dapat mendirikan perusahaan lain yang keuntungannya dapat digunakan untuk mendanai amal - amal fisabilillah termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan dan dakwah.

MANAJEMEN ZAKAT
            Organisasi pengelolaan zakat di zaman Nabi  dan shadaqah dikelola dalam organisasi baitul mal dengan bagian - bagian sebagai berikut:
            a. Jubah/ Su’ah/ hasyarah : pengumpul dan penagih zakat.
            b. Katabah/ Hasabah : mendaftar dan menghitung/ menetapkan zakat.
            c. Qasamah : distributor zakat kepada yang berhak.
            d. Khasanah/ Hafadhah : menjaga / memelihara kas baitul.

ZAKAT MAAL
            Selain zakat fitrah, zakat maal juga wajib dikelurakan yakni zakat dari hasil pertanian, peternakan, perdagangan, zakat usaha produksi, zakat simpanan, zakat penghasilan hingga zakat barang temuan.
            Zakat maal wajib dikelurkan setelah mengendap selama setahun yang mencapai nisab senilai 85 gram emas yang besarnya 2,5% dari harta itu.
            Misalnya seorang  yang mengontrakkan rumahnya sejak September 2005, jika sudah setahun September 2006 hasilnya lebih besar dari nilai 85 gram emas, maka ia wajib mengeluarkan zakat 2,5 %.
            Mengeluarkan zakat maal tidak usah di bulan Ramadhan tetapi begitu hitungannya sedah setahun berikutnya. “ Tidak perlu beranggapan kalau mengeluarkannya bulan Ramadhan berarti pahalanya bakal bertambah. Karena yang penting kita mengeluarkan yang bukan hak kita secepatnya, jika tidak kita berdosa dan jika ya kita mendapat pahala berlipat - lipat. Wajibnya sama dengan kewajiban shalat.”
            Sedangkan infak atau sedekah, sifatnya sukarela dan tak disebutkan besarnya, namun ganjarannya dijanjikan akan berlipat ganda.
            Di zaman Rasulullah, ketika Usman bin Affan menyumbangkan seluruh hartnya di jalan Allah dan sangat percaya bahwa sadaqah kepada Allah itu tidak akan hilang. Ternyata benar, di Madinah Usman tak jatuh miskin karena seluruh hartanya disumbangkan, malahan ia menjadi orang terkaya di Madinah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar